Kisah Lengkap Nabi Musa dan Harun ‘Alaihimasssalam

Kisah Lengkap Nabi Musa dan Harun ‘Alaihimasssalam

Di zaman dahulu, negeri Mesir dipimpin oleh raja yang zalim dan kejam dikenal dengan sebutan “Fir’aun,” ia memperbudak kaumnya dan menindas mereka, bersikap sewenang-wenang di bumi, dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka dan mempekerjakan mereka dengan kerja paksa. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.

Mereka yang tertindas ini adalah bani Israil; suatu kaum yang nasab mereka sampai kepada Nabi Israil atau Ya’qub ‘alaihissalam. Bani Israil menempati negeri Mesir ketika Nabi Yusuf ‘alaihissalam menjabat sebagai menterinya.




Suatu ketika Fir’aun bermimpi, bahwa ada sebuah api yang datang dari Baitul Maqdis lalu membakar negeri Mesir selain rumah-rumah Bani Israil. Saat bangun, maka Fir’aun langsung terkejut, kemudian ia mengumpulkan para peramal dan pesihir untuk meminta takwil terhadap mimpinya itu, lalu mereka memberitahukan bahwa akan lahir seorang anak dari kalangan Bani Israil yang akan menjadi sebab binasanya penduduk Mesir. Maka Fir’aun merasa takut terhadap mimpi tersebut, ia pun memerintahkan untuk menyembelih anak-anak laki-laki Bani Israil karena takut terhadap kelahiran orang tersebut[1].

Hari pun berlalu, bulan dan tahun berganti sehingga penduduk asli Mesir melihat bahwa jumlah Bani Israil semakin sedikit karena dibunuhnya anak laki-laki yang masih kecil, mereka khawatir jika orang-orang dewasanya wafat, sedang anak-anaknya dibunuh nantinya tidak ada lagi yang mengurus tanah mereka, sehingga mereka pergi mendatangi Fir’aun dan memberitahukan masalah itu, lalu Fir’aun berpikir ulang, kemudian ia pun memerintahkan untuk membunuh laki-laki secara umum dan membiarkan mereka secara umum.

Harun lahir pada tahun ketika anak-anak tidak dibunuh, sedangkan Musa lahir pada tahun terjadinya pembunuhan, maka ibunya takut kalau anaknya dibunuh sehingga ia memilih untuk menaruh anaknya di tempat yang jauh dari jangkauan mata tentara Fir’aun yang senantiasa menanti anak-anak Bani Israil untuk dibunuhnya, maka Allah mengilhamkan kepadanya untuk menyusuinya dan meletakkannya ke dalam peti, lalu peti itu ditaruh ke sungai saat tentara Fir’aun datang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (QS. Al Qashash: 7)

Maka ia pun menyiapkan peti kecil yang terikat dengan tali dan menyusui anaknya, dan pada saat tentara Fir’aun datang, maka ia menaruhnya ke dalam peti dan meletakkannya ke dalam sungai Nil. Ketika tentara Fir’aun pergi, maka ia menarik kembali peti itu. Hingga suatu ketika, ibu Nabi Musa lupa mengikat peti itu dengan tali, maka peti itu terbawa oleh air dan terus berjalan, sedangkan saudari Musa diperintahkan untuk memperhatikannya dan berjalan di sampingnya sambil melihat ke mana peti ini berhenti. Peti tersebut tetap mengambang di atas sungai bergoyang ke kanan dan ke kiri dan digerakkan oleh ombaknya, hingga kemudian peti itu terbawa ke arah istana Fir’aun yang berada di dekat sungai Nil. Ketika saudari Musa melihat peti itu mengarah ke istana Fir’aun, maka ia segera menyampaikan kepada ibunya untuk memberitahukan perkara itu sehingga hati ibu Musa menjadi kosong, hampir saja ia menyatakan keadaan yang sebenarnya bahwa Musa adalah anaknya sendiri.

Ketika itu, Asiyah istri Fir’aun seperti biasa berjalan di kebun istana dan berjalan pula di belakangnya para pelayannya, lalu Asiyah melihat sebuah peti di pinggir sungai Nil di ujung istana, lalu ia menyuruh para pelayannya untuk membawanya dan mereka tidak berani membukanya sampai meletakkan peti itu di hadapan Asiyah. Kemudian Asiyah melihat peti itu dan dilihatnya ada seorang anak bayi yang manis dan Allah menanamkan dalam hatinya rasa cinta kepada anak itu.

Di samping itu, Asiyah adalah seorang wanita yang mandul, lalu ia mengambilnya dan memeluknya dan bertekad untuk menjaganya dari pembunuhan dan penyembelihan, lalu ia membawanya ke suaminya dan berkata dengan penuh rasa kasihan, “(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak.” (QS. Al Qashash: 9).

Yang diucapkan Asiyah sungguh benar, karena keberadaan Musa memberikan manfaat baginya, di dunia ia memperoleh hidayah dengannya dan di akhirat ia masuk surga dengan sebabnya.

Ketika Fir’aun melihat istrinya begitu kuat menjaga anak bayi ini, maka Fir’aun menyetujui permintaannya dan tidak menyuruh dibunuh dan diangkatlah ia sebagai anak.

Kembalinya Bayi Musa kepada Ibunya

Setelah berlalu beberapa saat, sedang Asiyah menggendong bayi Musa dengan penuh kegembiraan, namun ibu Nabi Musa menangis dengan sedihnya, hatinya kosong terhadap urusan dunia selain urusan Musa, maka Asiyah merasakan perlunya anak ini disusukan, ia pun segera menghadirkan ibu susu untuk menyusukannya dan mengurusnya, sehingga datanglah sejumlah ibu susu ke istana untuk menyusukannya, tetapi bayi Musa menolak semuanya. Hal ini membuat penghuni istana sibuk memikirkannya dan berita ini tersebar di kalangan manusia, sehingga saudari Musa mengetahui hal itu, ia pun pergi ke istana dan menemui Asiyah istri Fir’aun dan memberitahukan, bahwa ia mengetahui ibu susu yang cocok untuk anak ini, maka Asiyah bergembira sekali dan meminta kepadanya agar ibu susu itu dibawa segera ke hadapannya.

Saudari Musa pun pulang dan menemui ibunya yang sedang dalam keadaan menangis karena kehilangan anaknya, lalu saudari Musa memberitahukan hal yang terjadi antara dirinya dengan istri Fir’aun sehingga tenanglah ibu Nabi Musa dan lega hatinya.

Ibu Nabi Musa pun pergi bersama putrinya ke istana Fir’aun. Ketika telah masuk ke istana dan menemui istri Fir’au, maka ibu Nabi Musa segera menyodorkan teteknya, bayi Musa segera menyusu hingga kenyang. Lalu Asiyah meminta Ibu Musa untuk tinggal di istana, tetapi ia menolak karena ia mempunyai suami dan anak-anak yang perlu dilayaninya, maka Asiyah pun melepas bayi Musa itu bersama ibu itu yang tidak lain adalah ibu Nabi Musa sendiri.

Ibunya membawa bayinya ke rumah tempat Musa dilahirkan dengan hati yang penuh kebahagiaan, di samping ia memperoleh upah dari istana, demikian pula nafkah dan pemberian lainnya, sehingga hiduplah Nabi Musa dengan ibu dan ayahnya serta saudarinya. Saat Musa telah kembali ke istana Fir’aun, maka keluarga Musa telah mendidiknya dengan pendidikan yang baik, sehingga Nabi Musa tumbuh seperti anak raja dan pemerintah, yaitu sebagai orang yang kuat, pemberani dan berpendidikan.

Ketika itu, Bani Israil menjadi lebih terhormat, karena dari kalangan mereka yang menyusukan Musa.

Musa di Masa Dewasa

Demikianlah Nabi Musa ‘alaihissalam menjadi dewasa sebagai seorang yang kuat dan pemberani. Maka pada suatu hari, Musa berjalan di kota Memphis dan dilihatnya ada dua orang yang bertikai, yang satu dari kalangan kaumnya Bani Israil, sedangkan yang satu lagi dari penduduk asli Mesir, yaitu orang Qibthi yang kafir. Lalu orang Bani Israil meminta bantuan kepada Musa, kemudian Musa pun datang dan hendak mencegah orang Mesir itu melakukan kezaliman, ia pun memukulnya dengan tangannya sehingga orang Qibthi itu langsung tersungkur ke tanah dan mati.

Musa pun merasakan bahwa dirinya dalam kesulitan, padahal maksud Beliau bukanlah untuk membunuhnya tetapi untuk membela orang yang terzalimi, maka Nabi Musa pun bersedih, bertobat kepada Allah dan kembali kepada-Nya serta meminta ampunan-Nya, (lihat QS. Al Qashash: 15-16).

Akan tetapi, berita itu ternyata sudah tersebar luas di kota itu dan orang-orang Mesir mencari-cari siapa pembunuhnya untuk menghukumnya, tetapi mereka tidak mengetahuinya. Hari pun berlalu dan saat Nabi Musa berjalan di kota itu, ia pun menemukan orang Bani Israil yang pernah dibelanya bertengkar lagi dengan orang Mesir dan meminta bantuan lagi kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, namun Musa marah terhadap permintaannya itu, ia pun maju untuk melerai pertikaian, tetapi orang Bani Israil itu mengira bahwa Musa hendak mendatanginya untuk memukulnya karena marah kepadanya, ia pun berkata, “Wahai Musa! Apakah kamu bermaksud hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia?“

Mendengar kata-kata itu, maka orang-orang Mesir pun mengetahui bahwa yang membunuh orang Qibthi itu adalah Nabi Musa ‘alaihissalam. Maka tentara Fir’aun mulai berpikir tentang hukuman yang harus ditimpakan kepadanya, lalu ada seorang yang datang kepada Nabi Musa menasihatinya agar ia pergi dari Mesir, maka Musa keluar darinya dalam keadaan takut kalau ada yang menangkapnya sambil berdoa kepada Allah agar diselamatkan dari orang-orang yang zalim (lihat Al Qashash: 17-21).

Musa Meninggalkan Mesir Menuju Madyan

Nabi Musa pun pergi meninggalkan Mesir, namun ia tidak mengetahui ke mana ia harus pergi, ia berharap kepada Allah agar Dia mengarahkan ke tempat yang tepat, dan ia terus berjalan hingga sampai di sebuah kota bernama Madyan. Ketika tiba di kota Madyan, Nabi Musa mendatangi sebuah pohon yang berada di dekat sumur lalu duduk di bawahnya. Ia pun mendapati dua orang wanita yang membawa kambing-kambing gembalaannya, dimana keduanya berdiri jauh dari sumur menunggu orang-orang selesai mengambil air.

Musa mendekat kepada keduanya dan bertanya tentang sebab keduanya berdiri jauh dari keramaian orang, maka keduanya memberitahukan, bahwa keduanya tidak dapat memberi minum kambing-kambingnya melainkan  setelah orang-orang selesai memberi minum kambing-kambing mereka. Keduanya terpaksa melakukan demikian, karena orang tuanya sudah sangat tua; tidak sanggup melakukan pekerjaan ini, maka Nabi Musa pun maju lalu mengangkat batu besar sendiri yang biasa diangkat oleh sepuluh orang yang menutupi sumur itu, kemudian memberi minum kambing-kambing milik keduanya.

Setelah itu, Musa kembali ke tempat semula di bawah naungan pohon untuk dapat beristirahat setelah merasakan kelelahan perjalanan jauh. Lalu ia merasakan lapar dan berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.”

Ketika kedua wanita itu kembali kepada orang tuanya, keduanya menceritakan kejadian yang mereka alami, sehingga orang tua itu heran dengan orang asing yang kuat dan memiliki sopan santun yang tinggi. Lalu orang tua ini menyuruh salah seorang anaknya untuk mendatanginya dan mengundangnya menemui ayahnya untuk diberikan balasan.

Lalu salah satu wanita itu mendatangi Musa dengan rasa malu dan memberitahukan tentang undangan ayahnya, maka Musa memenuhi undangan itu dan mendatangi ayah wanita itu dengan berjalan di depan, sedangkan wanita ini berjalan di belakang sambil mengisyaratkan jalannya dengan melempar batu kecil.

Ketika sampai di tempat orang tua itu, maka ia bertanya kepada Musa tentang nama dan perihal yang terjadi pada dirinya, Musa pun menceritakan kejadiannya, lalu orang tua itu menenangkannya.

Ketika itu, salah seorang dari kedua wanita itu meminta kepada ayahnya agar mengangkat Musa sebagai pekerja untuk membantu keduanya karena keadaanya yang kuat lagi amanah. Maka orang tua itu, menawarkan kepada Musa untuk menikahi salah satu putrinya itu dengan mahar mau bekerja kepadanya selama delapan tahun atau sepuluh tahun jika Musa mau. Maka Nabi Musa setuju terhadap tawaran itu, dan menikah dengan salah satu dari wanita itu. Ia pun mulai menggembala kambing selama sepuluh tahun. Setelah itu, Musa ingin pulang menemui keluarganya di Mesir, lalu orang tua itu menyetujuinya dan memberinya bekal selama perjalanan pulangnya ke Mesir.


Kembalinya Musa ke Mesir dan Diangkatnya Beliau Sebagai Nabi
Maka berangkatlah Musa menuju Mesir bersama keluarganya, sehingga ketika mereka merasakan kegelapan, mereka duduk beristirahat agar dapat melanjutkan perjalanan lagi. Ketika itu, cuaca sangat dingin sekali, maka Musa pun mencari sesuatu untuk dapat menghangatkan badannya, ia pun melihat api dari jauh, lalu meminta keluarganya menunggu di situ agar ia dapat mengambil sesuatu untuk menghangatkan badan. Maka Musa pun pergi mendatangi api itu dengan membawa tongkatnya.

Lebih dari seorang mufassir baik dari kalangan salaf maupun khalaf berkata, “Nabi Musa pergi menuju api yang dilihatnya itu dan setelah sampai di sana, didapatinya api itu menyala-nyala di sebuah pohon hijau, yaitu pohon Ausaj (jenis pohon yang berduri), apinya semakin menyala, kehijaun pohon itu juga semakin bertambah, maka Musa berdiri dalam keadaan takjub dan ketika itu pohon tersebut di kaki gunung di sebelah Barat dan berada di sebelah kanan Nabi Musa sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah Barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tidak pula kamu termasuk orang-orang yang menyaksikan.” (QS. Al Qashshash: 44)

Saat itu Musa berada di lembah yang bernama Thuwa, sambil menghadap kiblat, sedangkan pohon itu berada di kanannya di sebelah Barat, lalu Tuhannya memanggilnya,

“Wahai Musa.–sesungguhnya aku Inilah Tuhanmu, maka lepaskanlah kedua sandalmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci; Thuwa.– Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu).–Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.– Segungguhnya hari kiamat itu akan datang, Aku merahasiakan (waktunya) agar setiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan.–Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu menjadi binasa.” (QS. Thaahaa: 11-16)

Kemudian Allah ‘Azza wa Jalla bertanya kepadanya tentang tongkat yang dipegangnya –dan Dia lebih tahu-, Musa menjawab, “Ini adalah tongkatku, aku bersandar kepadanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” (QS. Thaahaa: 18)

Maka Allah menyuruhnya untuk melempar tongkatnya. Musa pun melemparnya, maka tongkat itu berubah menjadi ular yang besar dan bergerak dengan cepat, lalu Musa berpaling lari karena takut, lalu Allah menyuruhnya kembali dan tidak takut, karena  ular itu akan kembali menjadi tongkat seperti sebelumnya, kemudian Musa mengulurkan tangannya ke ular itu untuk mengambilnya, ternyata ular itu langsung berubah menjadi tongkat.

Nabi Musa kulitnya berwarna coklat, lalu Allah memerintahkan kepadanya untuk memasukkan tangannya ke dalam bajunya kemudian mengeluarkannya, Musa pun melakukannya, lalu tampaklah warna putih yang jelas. Keduanya Allah jadikan sebagai mukjizat untuk Nabi Musa ‘alaihissalam di samping mukjizat-mukjizat yang lain untuk menguatkan kerasulannya ketika berhadapan dengan Fir’aun dan para pembesarnya.

Dakwah Nabi Musa ‘Alaihissalam kepada Fir’aun
Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nabi Musa pergi mendatangi Fir’aun untuk mendakwahinya, maka Nabi Musa mau memenuhinya, akan tetapi sebelum ia berangkat, ia berdoa kepada Tuhannya meminta taufiq dan meminta kepada-Nya bantuan, Musa berkata, “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku–Dan mudahkanlah untukku urusanku,–Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku,–Agar mereka mengerti perkataanku,–Dan Jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku,–(yaitu) Harun, saudaraku,–Teguhkanlah dengannya kekuatanku,–Dan jadikankanlah dia sekutu dalam urusanku,–agar kami banyak bertasbih kepada Engkau,–dan banyak mengingat Engkau.–Sesungguhnya Engkau adalah Maha melihat (keadaan) kami.” (QS. Thaahaa: 25-35)

Maka Allah mengabulkan permohonannya, lalu Musa ingat bahwa ia pernah membunuh orang Mesir, ia takut kalau nanti mereka membunuhnya, maka Allah menenangkannya, bahwa mereka tidak akan dapat menyakitinya sehingga Musa pun tenang (lihat Al Qashash: 35).

Musa pun melanjutkan perjalanannya ke Mesir dan memberitahukan kepada Harun apa yang terjadi antara dirinya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Harun ikut serta menyampaikan risalah kepada Fir’aun dan kaumnya dan membantunya mengeluarkan Bani Israil dari Mesir, maka Harun pun bergembira atas berita itu, ia pun ikut berdakwah bersama Musa.

Fir’aun adalah seorang yang kejam dan berlaku zalim terhadap Bani Israil, sehingga Nabi Musa dan Nabi Harun berdoa kepada Allah agar menyelamatkan keduanya dari tindakan aniaya dari Fir’aun, lalu Allah Ta’ala berfirman meneguhkan hati keduanya, “Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat”.–Maka datanglah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dan Katakanlah, “Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya kami telah datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan Kami) dari Tuhanmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk.–Sesungguhnya telah diwahyukan kepada Kami bahwa siksa itu (ditimpakan) atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling.” (QS. Thaahaa: 46-48)

Maka ketika Musa dan harun berangkat, mulailah keduanya mengajak mereka kepada Allah dan berusaha membawa Bani Israil dari penindasan Fir’aun, akan tetapi Fir’aun mengejek keduanya dan mengolok-olok apa yang mereka berdua bawa serta mengingatkan Musa, bahwa dirinyalah yang mengurus Musa di istananya dan terus membesarkannya hingga ketika dewasa Musa membunuh orang Mesir dan pergi melarikan diri. Maka Nabi Musa ‘alaihissalam berkata, “Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf.–Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul.—Budi baik yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil.” (Lihat Asy Syu’araa: 20-22)

Fir’aun pun bertanya, “Siapa Tuhan semesta alam itu?”

Musa menjawab, “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya”.

Fir’aun berkata kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya, “Apakah kamu tidak mendengarkan?”

Musa berkata (pula), “Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu”.

Fir’aun berkata, “Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepada kamu sekalian benar-benar orang gila.”

Musa berkata, “Tuhan yang menguasai Timur dan Barat dan apa yang ada di antara keduanya; (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal.”

Fir’aun berkata: “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selainku, aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan.” (Lihat Asy Syu’araa: 23-29)

Kemudian Nabi Musa menawarkan kepadanya bukti yang membenarkan kerasulannya. Maka Fir’aun meminta ditunjukkan buktinya jika Musa memang benar. Nabi Musa pun melempar tongkatnya dan berubahlah tongkat itu menjadi ular yang besar sehingga orang-orang terkejut dan takut terhadap ular itu. Kemudian Musa menjulurkan tangannya ke ular itu, maka ular itu kembali seperti biasa menjadi tongkat. Kemudian Musa memasukkan tangannya ke leher bajunya, lalu ia keluarkan, tiba-tiba tampak warna putih berkilau.

Perlawanan Nabi Musa ‘Alaihissalam dengan Para Penyihir dan Masuk Islamnya Para Penyihir
Ketika ditunjukkan bukti-bukti itu, Fir’aun malah menuduhnya sebagai penyihir, lalu ia meminta untuk dikumpulkan para penyihirnya dari segenap tempat untuk melawan Musa. Maka  ditetapkanlah hari raya sebagai hari pertunjukan itu yang dimulai pada waktu dhuha di tempat yang lapang di hadapan Fir’aun. Fir’aun juga mengumumkan pertemuan itu kepada kaumnya agar mereka semua hadir menyaksikan.

Tibalah hari pertunjukan itu dalam keadaan ramai dihadiri oleh banyak manusia, mereka ingin melihat apakah Musa yang menang ataukah para penyihir?

Sebelum Fir’aun keluar mendatangi Musa, ia berkumpul terlebih dahulu dengan para penyihir dan memberikan dorongan kepada mereka, dimana jika mereka menang, maka ia akan memberikan berbagai kesenangan berupa harta dan kedudukan.

Sesaat kemudian, Fir’aun keluar menuju lapangan pertandingan, sedangkan di belakangnya terdapat para penyihir, lalu ia duduk di tempat khusus baginya dengan didampingi para pelayannya, kemudian para penyihir berdiri di hadapan Nabi Musa dan Harun.

Selanjutnya Fir’aun mengangkat tangannya untuk memberitahukan bahwa pertandingan siap dimulai, lalu para penyihir menawarkan dua hal kepada Musa, yaitu apakah Musa yang pertama kali melempar tongkatnya ataukah merela lebih dulu? Maka Nabi Musa membiarkan mereka dulu yang memulai.

Para penyihir pun melempar tali dan tongkat, sambil menyihir mata manusia sehingga menurut pandangan manusai bahwa tongkat dan tali tersebut berubah menjadi ular yang gesit dan bergerak di hadapan mereka, sehingga orang-orang takut terhadapnya, bahkan Nabi Musa dan Harun merasa takut terhadapnya, lalu Alllah memberikan wahyu kepada Musa agar ia tidak takut dan melempar tongkatnya, maka Nabi Musa dan saudaranya (Nabi Harun) tenang karena perintah Allah itu.

Nabi Musa pun melempar tongkatnya, maka tongkat itu berubah menjadi ular yang besar yang menelan tali para penyihir dan tongkat mereka. Ketika para penyihir melihat apa yang ditunjukkan Nabi Musa ‘alaihissalam, maka mereka pun mengakui, bahwa itu adalah mukjizat dari Allah dan bukan sihir. Kemudian Allah melapangkan hati mereka untuk beriman kepada Allah dan membenarkan apa yang dibawa Nabi Musa ‘alaihissalam, mereka pun akhirnya hanya bersujud kepada Allah sambil menyatakan keimanan mereka kepada Tuhan Musa dan Harun.

Ketika itulah Fir’aun semakin geram dan mulai mengancam para penyihir, ia berkata kepada mereka, “Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal balik, dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya.” (QS. Thaahaa: 71)

Meskipun begitu, para penyihir tidak takut terhadap ancaman itu setelah Allah mengaruniakan keimanan kepada mereka, mereka berkata, “Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat) yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah menciptakan kami; maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja.–Sesungguhnya kami telah beriman kepada Tuhan kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah kamu paksakan kepada kami melakukannya. Dan Allah lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal (azab-Nya).– Sesungguhnya barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya neraka Jahannam. Ia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.–Dan barang siapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, maka mereka Itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang Tinggi (mulia),–(yaitu) surga ‘Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Dan itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan).” (QS. Thaahaa: 72-76)


Penindasan Fir’aun kepada Bani Israil untuk yang Kedua Kalinya
Mendengar kata-kata para penyihir itu Fir’aun pun semakin marah, dan orang-orang sesat dari kaumnya juga mendorong Fir’aun untuk menghukum Musa dan Harun. Ketika itulah, Fir’aun mengeluarkan ketetapannya, yaitu membunuh anak-anak orang-orang yang beriman dari kalangan Bani Israil dan membiarkan wanita. Dengan adanya keputusan ini, maka Fir’aun berhasil membuat takut kaum lemah Bani Israil dan mereka yang ada penyakit dalam hatinya, mereka tidak beriman kepada Musa karena takut akan ancamannya, bahkan orang yang beriman saja sampai tidak masuk ke dalam Islam secara sempurna karena takut terhadap Fir’aun.

Ketika Nabi Musa ‘alaihissalam melihat kaumnya merasakan ketakutan yang sangat, maka Beliau berkata kepada kaumnya, “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”

Maka Kaum Musa berkata, “Kami telah ditindas (oleh Fir’aun) sebelum kamu datang kepada Kami dan setelah kamu datang.”

Musa menjawab, “Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi-(Nya), Maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.” (QS. Al A’raaf: 128-129)

Fir’aun juga mulai mencari cara untuk menyingkirkan Nabi Musa, maka pada suatu hari ia mengumpulkan para pembantu dan keluarganya serta memberitahukan usulnya, yaitu membunuh Musa. Namun di tengah-tengah mereka ada seorang yang menyembunyikan keimanannya dan berkata, “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena Dia menyatakan, “Tuhanku ialah Allah,” padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu.” (QS. Al Mu’min: 28)

Lalu ia mengajak orang-orang Mesir untuk beriman kepada Allah dan memperingatkan mereka dari adzab Allah, tetapi Fir’aun berpaling darinya dan tidak mau mendengar nasihatnya.

Musibah-musibah yang Ditimpakan kepada Fir’aun dan Kaumnya dan Bagaimana Fir’aun Tetap Tidak Mau Bertaubat

Hari pun berlalu, Fir’aun dan para pembantunya terus menyiksa Bani Israil dan membebankan mereka dengan kerja-kerja yang berat, ia juga tidak mau mendengarkan nasihat Nabi Musa untuk membiarkan dirinya dan kaumya pergi meninggalkan Mesir, sehingga Allah menimpakan kepada mereka kemarau panjang dan kekurangan, dimana air sungai Nil surut, buah-buahan berkurang, dan manusia banyak yang kelaparan, sehingga mereka merasakan tidak sanggup menghadapi cobaan dari Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Subhaanahu wa Ta’ala juga menimpakan kepada mereka berbagai macam adzab di samping yang disebutkan, seperti banjir yang menenggelamkan tanaman dan rumah-rumah mereka, mengirimkan belalang yang memakan sisa tanaman dan pepohonan mereka, demikian pula mengirimkan kutu (ulat) sehingga memakan makanan yang mereka simpan, mengirimkan katak sehingga membuat mereka sulit istirahat, serta menjadikan air yang datang kepada mereka dari sungai Nil, sumur dan mata air yang ada menjadi darah.

Semua musibah ini menimpa Fir’aun dan kaumnya, adapun Musa dan Harun serta orang-orang yang beriman bersamanya, maka tidak mendapatkannya. Hal ini merupakan bukti kebenaran apa yang dibawa Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam.

Hari pun berlalu dan musibah itu terus belanjut, bahkan semakin hari semakin bertambah, maka orang-orang Mesir mendatangi Fir’aun mengusulkan kepadanya untuk melepaskan Bani Israil sambil meminta kepada Nabi Musa agar ia berdoa kepada Tuhannya agar Tuhannya menghilangkan musibah itu dari mereka. Mereka berkata, “Wahai Musa! Mohonkanlah untuk kami kepada Tuhamnu dengan (perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan adzab itu dan pada Kami, pasti Kami akan beriman kepadamu dan akan Kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu.”

Namun ketika Allah telah menghilangkan adzab itu dari mereka hingga batas waktu yang mereka sampai kepadanya, tiba-tiba mereka mengingkarinya. (Lihat Al A’raaf: 134-135)

Fir’aun juga semakin bertambah penentangannya dan kekafirannya kepada Allah dan senantiasa mendustakan semua ayat yang dibawa oleh Nabi Musa ‘alaihissalam, hingga akhirnya Nabi Musa berdoa kepada Allah agar Dia melepaskan Bani Israil dari cengkeraman Fir’an serta mengadzab orang-orang kafir dengan adzab yang pedih. Nabi Musa berkata, “Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia. Wahai Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Wahai Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.” (QS. Yunus: 88)

Maka Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengabulkan doa Nabi-Nya dan Rasul-Nya Musa ‘alaihissalam dan datanglah perintah dari Allah kepada Nabi Musa untuk membawa Bani Israil pergi di malam hari serta memberitahukan, bahwa Fir’aun akan menyusul mereka.

Nabi Musa ‘alaihissalam Membawa Pergi Bani Israil dan Disusulnya Mereka oleh Fir’aun
Maka Nabi Musa membawa Bani Israil pada malam hari dan berangkatlah Musa bersama Bani Israil ke arah laut, mereka berjalan kaki  ke sana, namun berita kepergian Nabi Musa dan Bani Isaril ternyata diketahui Fir’aun, maka Fir’aun marah besar dan mengirim orang untuk mengumpulkan (tentaranya) ke kota-kota. Fir’aun berkata, “Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan kecil. Dan sesungguhnya mereka membuat hal-hal yang menimbulkan amarah kita. Dan sesungguhnya kita benar-benar golongan yang selalu waspada.”

Maka keluarlah Fir’aun dan kaumnya dalam jumlah besar untuk mengejar Nabi Musa dan Bani Israil, hingga akhirnya Fir’aun dan bala tentaranya dapat menyusul mereka di waktu matahari terbit. Kedua golongan itu pun saling melihat, dan saat itu pengikut-pengikut Musa berkata, “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul.” Tetapi Musa menenangkan mereka dan mengingatkan mereka, bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’ala akan menolong mereka, Beliau berkata, “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”

Penenggelaman Fir’aun

Selanjutnya, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk memukul tongkatnya ke laut, maka dengan izin Allah laut pun terbelah, dimana  setiap belahan seperti gunung yang besar (QS. Asy Syu’araa: 52-63). Ketika itulah, Bani Israil segera melintasi laut hingga sampai di seberang, sedangkan Fir’aun berada di tepi sebelumnya, dan ketika Fir’aun melihat jalan-jalan di tengah laut senantiasa terbuka, maka ia bersama tentaranya pun melewati jalan itu untuk mengejar Bani Israil. Dan ketika mereka telah sampai di tengah laut, maka laut pun kembali seperti biasa sehingga mereka semua tenggelam. Dan saat Fir’aun telah merasakan dirinya akan tenggelam, ia pun berusaha menyelamatkan dirinya dengan berkata, “Saya percaya bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Lihat Yunus: 90)

Akan tetapi, saat untuk bertaubat tidak lagi berguna karena nyawa telah sampai di tenggorokan.

Setelah Fir’aun menghebuskan nafasnya, maka ombak laut membawa jasadnya dan melemparnya ke pinggir pantai agar dilihat oleh orang-orang Mesir, agar menjadi pelajaran bagi mereka, bahwa orang yang mereka sembah selama ini serta mereka taati tidak mampu menolak kematian sedikit pun dari dirinya serta menjadi pelajaran bagi setiap orang yang sombong lagi kejam.

Penenggalaman Fir’aun ini terjadi pada hari Asyura (10 Muharram). Ibnu Abbas berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, sedangkan orang-orang Yahudi melakukan puasa pada hari Asyura, lalu Beliau bertanya, “Hari apa yang kalian berpuasa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari dimana Musa pernah mengalahkan Fir’aun.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (kepada para sahabat), “Kalian lebih berhak dengan Nabi Musa daripada mereka, maka berpuasalah.” (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i dalam Al Kubra, Ibnu Majah, dan lain-lain).

Setelah Bani Israil melintasi lautan, maka mereka berjalan ke negeri yang suci (Palestina), namun di tengah perjalanan, mereka melihat orang-orang yang menyembah patung, lalu mereka meminta kepada Nabi Musa ‘alaihissalam agar mengadakan buat mereka sesembahan seperti yang mereka miliki, maka Nabi Musa berkata, “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)”– Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang seIalu mereka kerjakan.” (QS. Al A’raaf: 138-139)

Nabi Musa juga berkata, “Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu selain Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat (pada masa itu).” (QS. Al A’raaf: 140)

Beberapa Nikmat Allah kepada Bani Israil
Nabi Musa ‘alaihissalam pun melanjutkan perjalanannya di bawah terik matahari yang menyengat wajah mereka, hingga akhirnya mereka mengadukan masalah itu kepada Beliau, maka Allah menundukkan untuk mereka awan yang berjalan di atas mereka yang mengikuti perjalanan mereka sehingga mereka tidak merasa kepanasan. Dan pada saat mereka kehausan, Allah mewahyukan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam agar Beliau memukulkan tongkat yang dibawanya itu ke batu, maka terpancarlah daripadanya dua belas mata air sesuai dengan jumlah suku Bani Israil yang bersamanya sehingga Nabi Musa ‘alaihissalam menjadikan untuk setiap suku satu mata air.

Dan ketika mereka kelaparan, mereka juga diberi nikmat oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala, Dia berikan untuk mereka Manna (makanan yang manis seperti madu) dan Salwa (daging burung seperti burung puyuh), maka mereka memakannya, akan tetapi mereka cepat bosan terhadap makanan itu sehingga mereka mendatangi Nabi Musa ‘alaihissalam mengeluhkan makanan itu, mereka berkata, “Wahai Musa, Kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah untuk Kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya.”

Maka Nabi Musa berkata, “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta.” Yakni Permintaanmu ini bukanlah perkara sulit, bahkan makanan itu banyak di kota mana pun, yang jika kamu mendatangi tentu kamu akan menemukannya. (Lihat Al Baqarah: 61).



Nabi Musa ‘Alaihissalam Menerima Taurat
Bani Israil hidup dalam keamanan dan ketenteraman, dan mereka butuh kepada undang-undang yang dapat mereka gunakan sebagai aturan hidup serta syariat yang mengatur mereka, maka Allah mewahyukan kepada Nabi Musa untuk keluar sendiri ke tempat tertentu untuk menerima syariat yang nanti akan dijadikan rujukan oleh Bani Israil, maka Beliau mengangkat Harun sebagai penggantinya; menasihatinya dan mengingatkannya kepada Allah serta memperingatkannya agar tidak menjadi orang-orang yang berusaha mengadakan kerusakan di bumi.

Beliau pun pergi ke gunung yang Beliau pernah mendapat wahyu pertama kali ketika Beliau pulang dari Madyan ke Mesir dan ketikan itulah diturunkan kepada Beliau kitab Taurat. Dan ketika Nabi Musa ‘alaihissalam menyaksikan bahwa Allah telah memuliakannya serta diberi kelebihan, maka ia meminta kepada Allah agar diberi kesempatan untuk melihat-Nya karena mengira bahwa Allah dapat dilihat di dunia, maka Allah menolak permintaan itu dan menerangkan bahwa Beliau tidak akan sanggup melihat Allah ‘Azza wa Jalla. Disebutkan kejadian ini di surat Al A’raaf: 143, Allah Ta’ala berfirman,

“Dan ketika Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” Allah berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (seperti semula) niscaya kamu dapat melihat-Ku.” Ketika Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama beriman.”

Kemudian Nabi Musa ‘alaihissalam mengambil lauh-lauh yang berisi Taurat, di dalam kitab itu terdapat nasihat dan hukum-hukum untuk mengatur kehidupan Bani Israil.

Bani Israil Menyembah Patung Anak Sapi
Sepeninggal Musa, ternyata Bani Israil telah disimpangkan oleh seorang yang bernama Samiri, ia mengumpulkan perhiasan dan emas mereka serta membuatkan patung yang berongga dalam bentuk anak sapi, dimana jika angin masuk ke dalamnya dari lubang yang satu dan keluar dari lubang yang lain, maka akan keluar suara yang mirip suara anak sapi, lalu Samiri memberitahukan mereka, bahwa itu adalah tuhan mereka dan tuhan Musa, akhirnya Bani Israil percaya dan menyembah patung tersebut meninggalkan menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Nabi Harun menasihati dan mengingatkan mereka, tetapi mereka tetap saja di atas kebodohan itu, tidak sadar dan tidak memperhatikan nasihat Harun, bahkan mereka menyanggahnya dan hampir saja membunuhnya. Mereka juga memberitahukan, bahwa mereka tidak akan meninggalkan penyembahan kepada patung itu sampai Musa kembali.

Ketika Nabi Musa ‘alaihissalam kembali, ia mendapati kaumnya dalam keadaan seperti itu, ia pun marah dengan marah yang besar karena kecewa bercampur sedih, hingga ia pun melempar lauh-lauh (lembaran) yang berisi Taurat itu dari tangannya, lalu ia mendatangi Nabi Harun, memegang kepala dan janggutnya sambil menariknya dan berkata, “Wahai Harun! Apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat,–(sehingga) kamu tidak mengikuti Aku? Maka Apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?” (QS. Thaahaa: 92-93)

Harun pun berkata, “Wahai putera ibuku! Janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku, “Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku), “Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku.”

Beliau juga memberitahukan Nabi Musa bahwa kaumnya hampir saja membunuhnya, maka Musa pun meninggalkannya dan pergi mendatangi Samiri; orang yang membuat patung tersebut dan bertanya tentang alasannya, lalu Samiri memberitahukan alasannya, kemudian Musa membakar patung itu hingga habis dan membuang ampasnya ke laut.

Kemudian Nabi Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku! Sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sembahanmu), maka bertobatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu; maka Allah akan menerima tobatmu. Sesungguhnya Dialah yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Lihat Al Baqarah: 54)

Kemudian Allah ‘Azza wa Jalla memberitahukan kepada Musa, bahwa Harun telah berlepas diri dari mereka dan ia telah berusaha keras untuk menjauhkan mereka dari menyembah patung anak sapi, maka hati Nabi Musa pun tenang karena ternyata saudaranya tidak ikut serta dalam perbuatan dosa itu, maka Nabi Musa ‘alaihissalam menghadapkan dirinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla memintakan ampunan untuk dirinya dan saudaranya, Beliau berkata, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.” (lihat Al A’raaf: 151)

Kemudian Nabi Musa ‘alaihissalam memilih tujuh puluh orang yang terbaik dari kalangan mereka untuk pergi bersamanya ke sebuah tempat yang ditentukan Allah ‘Azza wa Jalla. Pada saat mereka telah sampai di tempat tersebut, mereka malah meminta untuk melihat Allah secara nyata, maka Nabi Musa marah kepada mereka dengan keras, dan Allah menurunkan halilintar yang membinasakan mereka hingga ruh-ruh mereka melayang. Lalu Nabi Musa ‘alaihissalam berdoa kepada Allah dan merendahkan diri kepada-Nya meminta agar Dia memberikan rahmat kepada mereka itu. Maka Allah mengabulkan permohonan Nabi Musa ‘alaihissalam dan Dia menghidupkan mereka yang mati karena tersambar halilintar agar mereka bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla karena telah menghidupkan mereka setelah matinya (lihat Al Baqarah: 55-56).

Kemudian Nabi Musa membawa mereka kembali kepada kaumnya dan membacakan kitab Taurat kepada mereka serta menerangkan nasihat dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Beliau juga mengambil perjanjian dari mereka untuk mau mengamalkan isinya, mereka pun mau berjanji dengan terpaksa setelah Allah mengangkat gunung di atas mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat bukit (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman), “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!” Mereka menjawab, “Kami mendengar tetapi tidak mentaati.” Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya. Katakanlah, “Sangat jahat perbuatan yang telah diperintahkan imanmu kepadamu jika betul kamu beriman (kepada Taurat).” (QS. Al Baqarah: 93)

Perintah Allah kepada Bani Israil untuk Masuk ke Negeri Palestina
Selanjutnya Allah memberikan wahyu kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, bahwa telah tiba saatnya bagi Bani Israil untuk masuk dan menempati negeri yang diberkahi, yaitu Palestina, maka Nabi Musa ‘alaihissalam senang sekali, akan tetapi Bani Israil ternyata sebagai orang-orang yang pengecut dan penakut, mereka berkata kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, “Wahai Musa! Sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar daripadanya. Jika mereka keluar daripadanya, pasti Kami akan memasukinya.” (lihat Al Maa’idah: 22)

Ketika itulah ada dua orang mukmin di antara mereka yang berkata, “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka jika kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”

Tetapi Bani Israil tetap menolaknya dan berkata dengan perkataan yang sangat buruk, “Wahai Musa! Kami sekali sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (QS. Al Maa’idah: 23-24)

Maka bertambahlah kemarahan Nabi Musa kepada kaumnya yang lupa kepada nikmat Allah. Ketika itulah Nabi Musa berdoa kepada Allah agar menjauhkan dirinya dengan kaumnya yang fasik itu, Beliau berkata, “Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.” (Terj. QS. Al Maa’idah: 25)

Hukuman kepada Bani Israil karena Menolak Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala
Kemudian datanglah jawaban dari Allah ‘Azza wa Jalla yang isinya, “(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang sahara) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.” (QS. Al Maa’idah: 26).

Demikianlah hukuman Allah kepada Bani Israil, mereka tersesat terus selama empat puluh tahun di padang sahara, hingga generasi yang penakut ini meninggal dan digantikan oleh generasi yang pemberani yang kemudian mereka mau berperang di bawah pimpinan Nabi Yusya’ bin Nun setelah Nabi Musa wafat.



Kisah Nabi Musa dan Khadhir (Nabi Khidir)
Suatu ketika Nabi Musa berkhutbah di tengah-tengah Bani Israil, lalu ia ditanya, “Siapakah manusia yang paling dalam ilmunya?” Ia menjawab, “Sayalah orang yang paling dalam ilmunya.” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menyalahkannya karena tidak mengembalikan ilmu kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian mewahyukan kepadanya yang isinya, “Bahwa salah seorang hamba di antara hamba-hamba-Ku yang tinggal di tempat bertemunya dua lautan lebih dalam ilmunya daripada kamu.” Musa berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana cara menemuinya?” Maka dikatakan kepadanya, “Bawalah ikan (yang sudah mati) dalam sebuah keranjang. Apabila engkau kehilangan ikan itu, maka orang itu berada di sana.”

Musa pun berangkat bersama muridnya Yusya’ bin Nun dengan membawa ikan dalam keranjang, sehingga ketika mereka berdua berada di sebuah batu besar, keduanya merebahkan kepala dan tidur (di atas batu itu), lalu ikan itu lepas dari keranjang dan mengambil jalannya ke laut dan cara perginya membuat Musa dan muridnya merasa aneh.

Keduanya kemudian pergi pada sisa malam yang masih ada hingga tiba pagi hari. Ketika pagi harinya, Musa berkata kepada muridnya, “Bawalah kemari makanan kita, sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan ini.” Musa tidaklah merasakan keletihan kecuali setelah melalui tempat yang diperintahkan untuk didatangi.

Muridnya kemudian berkata kepadanya, “Tahukah engkau ketika kita mecari tempat berlindung di batu tadi, aku lupa menceritakan tentang ikan itu, dan tidak ada yang membuatku lupa untuk mengingatnya kecuali setan,” Musa berkata, “”Itulah (tempat) yang kita cari.”

Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Ketika mereka sampai di batu besar itu, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menutup dirinya dengan kain atau tertutup dengan kain, lalu Musa memberi salam kepadanya. Kemudian Khadhir berkata, “Dari mana ada salam di negerimu?” Musa berkata, “Aku Musa.” Khadhir berkata, “Apakah Musa (Nabi) Bani Israil?” Ia menjawab, “Ya.” Musa berkata, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?” Khadhir berkata, “Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku, wahai Musa?” Sesungguhnya aku berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya, demikian pula engkau berada di atas ilmu yang Dia ajarkan kepadamu dan aku tidak mengetahuinya.” Musa berkata, “Engkau akan mendapatiku insya Allah sebagai orang yang sabar dan aku tidak akan mendurhakai perintahmu.”

Keduanya pun pergi berjalan di pinggir laut, sedang mereka berdua tidak memiliki perahu, lalu ada sebuah perahu yang melintasi mereka berdua, maka keduanya berbicara dengan penumpangnya agar mengangkutkan mereka berdua, dan ternyata diketahui (oleh para penumpangnya) bahwa yang meminta itu Khadhir, maka mereka pun mengangkut keduanya tanpa upah.

Tiba-tiba ada seekor burung lalu turun ke tepi perahu kemudian mematuk sekali atau dua kali patukan ke laut. Khadhir berkata, “Wahai Musa, ilmuku dan ilmumu yang berasal dari Allah tidak lain seperti patukan burung ini ke laut (tidak ada apa-apanya di hadapan ilmu Allah), lalu Khadhir mendatangi papan di antara papan-papan perahu kemudian dicabutnya.” (Melihat keadaan itu) Musa berkata, “Orang yang telah membawa kita tanpa meminta imbalan, namun malah engkau lubangi perahunya agar penumpangnya tenggelam.” Khadhir berkata, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, bahwa engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku.” Musa berkata, “Janganlah engkau hukum aku karena lupaku dan janganlah engkau bebankan aku perkara yang sulit.”

Untuk yang pertama Musa lupa, maka keduanya pun pergi, tiba-tiba ada seorang anak yang sedang bermain dengan anak-anak yang lain, kemudian Khadhir memegang kepalanya dari atas, lalu menarik kepalanya dengan tangannya. Musa berkata, “Apakah engkau hendak membunuh seorang jiwa yang bersih bukan karena ia membunuh orang lain.” Khadhir berkata, “Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku.”

Keduanya pun berjalan, sehingga ketika mereka sampai ke penduduk suatu kampung, keduanya meminta agar penduduknya menjamu mereka, namun tidak diberi. Keduanya pun mendapatkan sebuah dinding yang hampir roboh, maka Khadhir menegakkannya, Khadhir melakukannya dengan tangannya. Musa pun berkata, “Sekiranya engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu.” Maka Khadhir berkata, “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu.”

Kemudian Khadhir menyampaikan alasan terhadap tindakan yang dilakukannya, ia berkata:

“Adapun kapal itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan kapal itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap kapal.–Dan adapun anak muda itu, maka kedua(orang tuanya)nya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.–Dan kami menghendaki, agar Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).–Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Itulah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”. (QS. Al Kahfi: 79-82).

Kisah Sapi Betina
Di zaman Nabi Musa ‘alaihissalam terjadi beberapa perkara aneh, di antaranya kisah terbunuhnya salah seorang Bani Israil yang tidak diketahui siapa pembunuhnya. Mereka telah mencari siapa pembunuhnya namun tetap saja tidak mengetahui siapa pembunuhnya. Ketika mereka telah bosan mencarinya, maka mereka ingat, bahwa di tengah-tengah mereka ada Nabi Musa ‘alaihissalam, lalu sebagian mereka mendatanginya dan memintanya untuk berdoa kepada Allah agar Dia memberitahukan siapa pembunuhnya.

Lalu  Nabi Musa ‘alaihissalam berdoa kepada Allah agar menyelesaikan masalah itu, kemudian Allah mewahyukan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam agar ia memerintahkan mereka menyembelih seekor sapi betina.

Saat mereka mendengar perintah itu, mereka heran dan menyangka bahwa hal itu hanya mengolok-olok mereka, sehingga Bani Israil tidak segera melaksanakan perintah itu, bahkan kembali bertanya tentang sifat-sifat sapi betina itu dan meminta penjelasan lebih rinci tentang sifat-sifatnya.

Karena mereka tidak segera melaksanakan perintah itu bahkan membebani diri dengan bertanya lebih rinci sifat-sifatnya sehingga mereka diberi beban dengan beban yang lebih berat, diberitahukan kepada mereka sifat-sifatnya yang berbeda dengan sapi betina lainnya.

Allah menyuruh mereka menyembelih sapi yang tidak muda dan tidak tua yang sudah banyak melahirkan, tetapi sapi itu masih kuat yang baru melahirkan sekali atau dua kali. Kalau mereka langsung mengerjakan, tentu akan mudah mendapatkannya, tetapi mereka malah bertanya lagi kepada Nabi Musa sifat-sifatnya; mereka bertanya apa warnanya, maka Nabi Musa ‘alaihissalam berkata, “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya.”

Mereka pun terus bertanya tentang sapi betina itu sehingga mereka dibebani dengan beban yang lebih berat lagi, yaitu perintah Nabi Musa ‘alaihissalam berikutnya, “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya.”

Mereka pun berkata, “Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya”.

kemudian mereka mencari sapi itu dengan susah payah hingga akhirnya mereka menemukannya dan membelinya dengan harga yang cukup mahal, mereka pun menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.” (Lihat. QS. Al Baqarah: 69-71)

Selanjutnya Nabi Musa ‘alaihissalam mendekati sapi itu dan mengambil bagian anggota badannya, kemudian ia gunakan untuk memukul orang yang terbunuh itu, maka tiba-tiba orang yang terbunuh itu dapat bergerak setelah Allah mengembalikan ruhnya kepadanya, kemudian ia memberitahukan siapa pembunuhnya, yaitu putra saudaranya,  kemudian ia pun mati lagi. Ini termasuk mukjizat besar dari Allah untuk menunjukkan kebenaran Nabi Musa ‘alaihissalam.

Kisah Nabi Musa dengan Qarun
Qarun termasuk kaum Nabi Musa ‘alaihissalam. Ia adalah seorang yang kaya, harta dan simpanannya banyak, bahkan kunci-kunci simpanan kekayaannya tidak dapat dibawa kecuali oleh orang-orang yang kuat.

Akan tetapi, Qarun mendurhakai Nabi Musa dan Harun, ia tidak menerima nasihat keduanya, dan ia menyangka bahwa harta dan kenikmatan yang didapatkannya adalah karena ia berhak memilikinya dan bahwa ia memperolehnya karena ilmunya.

Suatu hari, Qarun keluar ke Madinah dengan perhiasan yang besar dan perlengkapan yang banyak sambil memakai pakaian yang bagus. Ketika ia melewati manusia, maka sebagian manusia mendekatinya untuk memberinya nasihat dengan berkata, “Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.–Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al Qashash: 76-77)

Maka Qarun menolak nasihat itu dengan sombong, ia berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.”

Ia menyangka bahwa harta yang diperolehnya ini karena kecerdasan dan kemampuannya.

Suatu ketika Qarun keluar ke hadapan manusia dengan satu iring-iringan yang lengkap dengan pengawal, hamba sahaya dan segala kemewahannya untuk memperlihatkan kemegahannya kepada kaumnya. Saat itu, sebagian manusia ada yang terfitnah (terpukau) dengan kekayaan dan perhiasan Qarun, mereka ingin sekiranya mereka mempunyai seperti yang dimiliki Qarun, tetapi orang-orang saleh di antara mereka berkata, “Pahala Allah lebih baik bagi orang yang beriman dan beramal saleh.”

Ketika Qarun terus bersikap sombong dan congkak, maka Allah benamkan Qarun dan rumahnya ke dalam bumi, dan tidak ada seorang pun yang mampu menolongnya, dan ketika itu, orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Qarun itu, berkata, “Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Wahai, tidak beruntung orang- orang yang mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Al Qashash: 82)

Wafatnya Nabi Musa ‘Alaihissalam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang wafatnya Nabi Musa ‘alaihissalam sebagai berikut:

جَاءَ مَلَكُ الْمَوْتِ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ. فَقَالَ لَهُ: أَجِبْ رَبَّكَ قَالَ فَلَطَمَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ عَيْنَ مَلَكِ الْمَوْتِ فَفَقَأَهَا، قَالَ فَرَجَعَ الْمَلَكُ إِلَى اللهِ تَعَالَى فَقَالَ: إِنَّكَ أَرْسَلْتَنِي إِلَى عَبْدٍ لَكَ لَا يُرِيدُ الْمَوْتَ، وَقَدْ فَقَأَ عَيْنِي، قَالَ فَرَدَّ اللهُ إِلَيْهِ عَيْنَهُ وَقَالَ: ارْجِعْ إِلَى عَبْدِي فَقُلْ: الْحَيَاةَ تُرِيدُ؟ فَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْحَيَاةَ فَضَعْ يَدَكَ عَلَى مَتْنِ ثَوْرٍ، فَمَا تَوَارَتْ يَدُكَ مِنْ شَعْرَةٍ، فَإِنَّكَ تَعِيشُ بِهَا سَنَةً، قَالَ: ثُمَّ مَهْ؟ قَالَ: ثُمَّ تَمُوتُ، قَالَ: فَالْآنَ مِنْ قَرِيبٍ، رَبِّ أَمِتْنِي مِنَ الْأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ، رَمْيَةً بِحَجَرٍ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَاللهِ لَوْ أَنِّي عِنْدَهُ لَأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَانِبِ الطَّرِيقِ، عِنْدَ الْكَثِيبِ الْأَحْمَرِ»

“Malaikat maut datang kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, lalu malaikat itu berkata kepadanya, “Penuhilah Tuhanmu.” Maka Nabi Musa segera memukul mata malaikat maut dan mencoloknya, kemudian malaikat itu kembali kepada Allah Ta’ala dan berkata, “Engkau mengirimku kepada seorang hamba yang tidak mau mati.” Dan ia telah mencolok mataku, lalu Allah mengembalikan matanya dan berfirman, “Kembalilah kepada hamba-Ku dan katakan, “Apakah engkau ingin hidup?” Jika engkau ingin hidup, maka letakkanlah tanganmu di atas punggung sapi, maka hidupmu sampai waktu sebanyak bulu yang tertutup tanganmu. Engkau masih dapat hidup setahun.” Kemudian Musa berkata, “Selanjutnya apa?” Allah berfirman, “Selanjutnya engkau mati.” Musa berkata, “Kalau begitu sekaranglah segera.” Wahai Tuhanku, matikanlah aku di dekat negeri yang suci yang jaraknya sejauh lemparan batu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, kalau sekiranya aku berada dekat sana, tentu aku akan memberitahukan kalian kuburnya di pinggir jalan, di dekat bukit pasir merah.” (HR. Muslim)

Disebutkan dalam riwayat, bahwa para malaikat yang mengurus pemakamannya dan yang menyalatkannya. Ketika itu, usianya 120 tahun.

Selesai dengan pertolongan Allah dan taufiq-Nya, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.


Comments

Most Watched

Visitor

Online

Related Post